Budaya Memaki Orang Yang Lebih Tua Untuk Tahu Status : Cerita Dari Nagekeo

Tidak banyak orang yang mengenal kehidupan di kampung, terlebih di jaman saat ini yang dijuluki sebagai jaman now. Pembangunan yang tidak merata membuat orang enggan hidup di kampung dan lebih banyak menghabiskan hidupnya di kota.

Padahal banyak dari kita yang orang tuanya pasti berasal dari kampung. Padahal banyak hal-hal menarik yang tidak kita temui di kota jika kita mau sesekali pergi ke kampung.

Seperti pengalaman yang akan saya share kali ini tentang kedaan hidup di kampung. Kampung saya seperti yang sudah saya ceritakan pada tulisan saya sebelumnya berada di Kelurahan Wolokisa, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT.

Seperti inilah satu lagi Cerita Dari Nagekeo. Ada sebuah tradisi unik yang membuat saya heran dan kaget. Tradisi ini biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Tradisi ini namanya momo atau dalam bahasa Indonesia disebut makian atau mengeluarkan kata-kata kotor atau percakapan yang bermaksud mengganggu atau menggoda.

Kata-kata kotor disini maksudnya dalam konteks candaan atau gurauan selama terjadi percakapan atau sapaan. Nah yang unik disini perilaku ini dilakukan oleh semua orang kepada sesamanya yang setara dalam hubungan keluarga. Misalnya sesama saudara, atau sesama orang tua, dsb. Hal ini dilakukan supaya orang yang menyaksikan percakapan momo ini tahu hubungan kedua orang tersebut.

Nah yang jadi masalah, tidak semua orang dilahirkan di saat yang normal, maksudnya ada anak yang lahir dari orang tua yang nikahnya terlambat. Sehingga dampaknya si anak ini akan memiliki keluarga yang statusnya sama tapi sudah dewasa atau bahkan sudah kakek nenek. 

Dan ini terjadi pada saya. Ayah saya menikah diumur 45 tahun sedangkan adiknya menikah pada umur 22 tahun. Jadi bisa dibayangkan perbedaan umur yang sangat jauh antara saya dengan saudara sepupu dan keluarga lainnya. 

Saat ini saudara sepupu saya ada yang berumur 50an tahun bahkan di keluarga yang lain ada yang sudah masuk 60-an tahun. Momo ini menjadi penting untuk mengajarkan secara tidak langsung status hubungan saya dengan anak-anak mereka. 

Saya diajari oleh keluarga saya bahwa adat ini sifatnya wajib. Menurut mereka status keluarga dalam sebuah budaya itu sangat penting dan sifatnya hakiki. Artinya, walaupun ada orang tua yang rambutnya sudah ubanan bahkan anaknya usianya diatas saya, tapi jika status saya dengan orang tua itu kakak beradik, maka wajib hukumnya Momo.

Sering dalam beberapa acara keluarga, saya menjadi bahan tertawaan karena saya sering diganggu atau digoda untuk memaki keluarga yang lain yang sudah tua. Tapi kadang saya menolak karena saya tetap merasa agak risih melakukannya. Kalau memanggilnya kakak, bagi saya masih masuk akal, tapi kalau makian kayanya agak gimana gitu...

Tapi sebelumnya perlu saya garis bawahi, kata makian disini sekali lagi dalam konteks cadaan ringan atau sapaan kekeluargaan. Bahkan isi kalimat atau katanya sendiri lebih bersifat kiasan atau istilahnya serempet tapi tak kena, bahasa kerennya plesetan.

Salah satu contoh prakteknya seperti ini :
"Saat saya mencari kayu bakar lalu ada seorang kakak yang menyapa saya lalu berkata, "Leo kau sudah ada kayu tapi masih cari lagi, yang ada kurang kah..."(kata "kayu" disini merujuk pada alat kelamin saya).

Tapi ada juga model momo yang lain seperti membalikan nama, menyambung nama, dll. Jadi kata makian yang keluar biasanya mengajak lawan bicara untuk berpikir sejenak maknanya. Kebiasaan ini memang membuat suasana menjadi cair dan hangat. Selalu ada canda tawa dalam setiap akhir momo ini.

Budaya Momo ini melengkapi keanekaragaman budaya adat Nagekeo sebagai bagian dari budaya nasional yang harus dilestarikan. Seperti ada pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Seperti itulah saya berusaha untuk selalu menyesuaikan diri dengan budaya dimana saya berada. Salam hangat Cerita Angela!

(mohon maaf jika ada tulisan saya yang kurang sopan, saya hanya berusaha untuk memberikan gambaran yang mudah dipahami pembaca)

Komentar

Postingan Populer